Pemberian waktu istirahat dan cuti kepada pekerja atau buruh pada dasarnya mempunyai tujuan untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan baik fisik, mental dan sosial pekerja atau buruh.
Membawa keluarga rekreasi, berinteraksi dengan keluarga, sahabat dan lain-lain.
Hal ini, pada akhirnya akan membawa pekerja atau buruh menjadi lebih baik kesehatannya baik secara fisik, mental maupun sosial.
Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan terjalinnya hubungan harmonis dengan sesama pekerja dan manajemen.
Berdasarkan dari tujuan tersebut, maka pada prinsipnya pemberian waktu istirahat dan cuti tidak dapat dikompensasikan dalam bentuk uang.
Baca juga: Kenapa Kinerja Karyawan Menurun Selama WFO? Apa Solusinya
Dasar Hukum Aturan Cuti Karyawan
- UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 79 s/d Pasal 84 dan cuti tahunan yang berkaitan dengan PHK yaitu Pasal 156 ayat (4).
- Kepmenakertrans No. KEP-51/MEN/IV/2004 tentang Istirahat Panjang Pada Perusahaan Tertentu..
- Kepmenakertrans No. KEP-234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.
Cara Menghitung Waktu Istirahat dan Cuti Karyawan
1. Istirahat antara Jam Kerja
Setelah pekerja atau buruh bekerja tanpa henti selama 4 jam maka diberikan istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya 30 menit, waktu istirahat adalah bukan jam kerja.
2. Istirahat Mingguan
Diberikan kepada pekerja selama 2 hari bagi yang bekerja 5 hari dalam seminggu, dan 1 hari bagi yang telah bekerja 6 hari dalam seminggu.
Istirahat mingguan tidak harus diberikan pada hari Sabtu dan Minggu, namun dapat diberikan pada hari-hari sesuai kebutuhan perusahaan (pasal 79 ayat (2) huruf b UU No.13 Tahun 2003) yang diatur dalam PP atau PKB.
3. Cuti Tahunan
Diberikan kepada pekerja atau buruh selama 12 hari kerja setelah yang bersangkutan telah bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pengertian tersebut dalam ketentuan ini adalah pekerja atau buruh tidak pernah terputus hubungan kerjanya.
Berdasarkan hal tersebut diatas pekerja atau buruh yang terkena PHK tetapi belum bekerja terus menerus selama 12 bulan belum mendapatkan hak cuti tahunan (pasal 79 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003).
4. Istirahat Panjang
Istirahat panjang sebenarnya telah diatur sejak lama dalam pasal 14 ayat (2) UU No. 1 tahun 1951.
Ketentuan tersebut belum dapat dilaksanakan karena tidak semua perusahaan mampu untuk melakukannya.
UU No. 13 Tahun 2003 mengatur kembali ketentuan tersebut sebagaimana ditentukan dalam pasal 79 ayat (2) huruf d, ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).
Namun karena pertimbangan situasi dan kondisi yang belum memungkinkan, perusahaan dan sektor usaha tidak bisa melaksanakan ketentuan tersebut.
Maka undang-undang hanya mengamanatkan pada perusahaan-perusahaan tertentu saja yang dikenakan kewajiban untuk melaksanakan istirahat panjang.
Dalam Kep Menakertrans R I No. Kep 51/Men/TV/2004 sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No.13 tahun 2003 telah ditetapkan perusahaan yang dikenai kewajiban tersebut sebagaimana ditentukan dalam pasal 2.
Baca juga: Rumus Turnover Karyawan: Fungsi dan Cara Menghitungnya
5. Cuti yang Berkaitan dengan Fungsi Reproduksi
Ini berkaitan dan dengan fungsi reproduksi pekerja atau buruh perempuan dan akan diberikan sebagaimana ketentuan berlaku.
a. Cuti Haid
Diberikan kepada pekerja atau buruh perempuan pada hari pertama dan kedua dalam masa haid, apabila yang bersangkutan merasa sakit.
Untuk mendapatkan cuti haid, maka tidak diwajibkan bagi pekerja perempuan untuk melampirkan surat keterangan sakit dokter, dan hanya cukup memberitahukan saja.
Namun, ketentuan ini dapat disalahgunakan oleh para pekerja atau buruh perempuan berdasarkan ketentuan pasal 81 UU No. 13 tahun 2003.
Apabila pekerja atau buruh perempuan yang tidak merasakan sakit pada waktu haid wajib bekerja seperti biasa.
Untuk mencegah penyalahgunaan ketentuan tersebut, dilakukan pendekatan kepada mereka agar tetap bekerja apabila tidak sakit ketika haid dengan memberikan bonus pada akhir tahun.
b. Cuti Hamil, melahirkan, dan gugur kandung.
Diberikan selama 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan.
Perlu diperhatikan ketentuan mengenai gugur kandung sebagaimana ditentukan dalam pasal 83 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Dalam ketentuan tersebut kepada pekerja atau buruh perempuan yang mengalami gugur kandung berhak memperoleh 1,5 bulan atau sesuai dengan keterangan dokter atau bidan.
Perusahaan sebaiknya tidak memberikan cuti selama 1,5 bulan, pemberian cuti tersebut berdasarkan keterangan dokter atau bidan.
Karena berdasarkan pengalaman medis, perempuan yang mengalami gugur kandung sudah sehat kembali dalam waktu relatif kurang dari 1,5 bulan.
Apakah ketentuan ini berlaku pula bagi pekerja atau buruh yang mengalami gugur kandung tidak dalam hubungan perkawinan sebagaimana banyak dipertanyakan.
UU No. 13 tahun 2003 hanya mengatur akibat dari adanya hubungan hukum, dan karena itu perempuan yang mengklaim gugur kandung di luar pernikahan tidak berhak atas cuti gugur kandung, tetapi akan diberikan istirahat dengan alasan sakit.
Butuh Karyawan Pengganti Karena Cuti?
Kami siap menjawab permasalahan Anda dengan karyawan kami yang siap bekerja untuk Anda dalam waktu 24 jam.
Sampingan menyediakan karyawan seperti customer service, admin, staf gudang, SPG, hingga barista. Tersedia baik secara full-time maupun part-time, mengikuti kebutuhan perusahaan Anda.
Bagaimana, tertarik?
Hubungi Sampingan segera!