Karyawan outsourcing adalah pekerja pada pihak ketiga berdasarkan perjanjian alih daya, di mana sebuah perusahaan tersebut menyerahkan sejumlah pekerjanya kepada perusahaan pemborong atau perekrut.
Dalam sistem outsourcing, bisa dipastikan bahwa hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja adalah hubungan kerja dengan perjanjian waktu tertentu.
Karyawan outsource bekerja sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati antara perusahaan perekrut dengan agen penyalur atau penyedia tenaga kerja.
Status ini menjadi masalah karena tidak adanya kepastian tentang kelangsungan hubungan kerja dan tidak terpenuhinya hak-hak yang seharusnya diterima pekerja.
Hal ini dilakukan untuk memangkas biaya produksi atau agar perusahaan perekrut tersebut menjadi lebih fokus ke dalam bisnisnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perusahaan outsourcing merupakan untuk merekrut, melatih, dan mendistribusikan karyawan untuk perusahaan yang membutuhkan jasa karyawan outsourcing.
Baca juga: Langkah Mudah Membuat Surat Mutasi Karyawan dengan Contohnya
Karyawan Kontrak
Sedangkan karyawan kontrak merupakan pekerja yang sesuai dengan kontrak atau perjanjian kerja yang telah disepakati dengan perusahaan dan berlangsung selama periode waktu tertentu.
Dalam hal ini terdapat hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak untuk suatu pekerjaan yang berlangsung hanya selama periode waktu tertentu sesuai perjanjian.
Dasar Hukum Karyawan Outsourcing
Untuk dasar hukum karyawan outsource, sebenarnya dalam UU Ketenagakerjaan tidak secara khusus menyebutkan tentang karyawan outsource.
Namun, Pasal 64 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa karyawan yang dibuat secara tertulis.
Saat ini hal tersebut di kalangan masyarakat awam khususnya para pengusaha dikenal dengan istilah alih daya, yang mana menjadi dasar praktik outsourcing di Indonesia.
Dalam hal ini penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain adalah penyerahan suatu bagian, atau sub bagian pekerjaan dari suatu perusahaan pemberi pekerjaan.
a. Syarat Outsourcing
Berikut adalah syarat-syarat pekerjaan yang bisa diserahkan oleh satu perusahaan kepada perusahaan lain, menurut Pasal 65 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
- Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama.
- Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
- Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.
- Tidak menghambat proses produksi.
Secara lebih spesifik lagi, dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan penunjang adalah kegiatan yang berada di luar usaha pokok perusahaan tersebut.
Seperti usaha penyediaan makanan bagi karyawan (catering), usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha tenaga pengamanan, serta usaha penyediaan angkutan bagi karyawan.
Hal yang diserahkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja atau buruh adalah pekerjaan tanpa menyebut jumlah orang -tenaga kerjanya.
Pekerjaan yang dimaskud merupakan sekumpulan kegiatan atau aktivitas, baik dalam rangkaian proses produksi, maupun dalam pelaksanaan usaha secara keseluruhan.
Artinya yang disepakati dalam kesepakatan adalah bukan perjanjian sewa-menyewa manusia atau bukan jual beli tenaga kerja atau sumber daya seperti dalam makna outsourcing yang sebenarnya (seperti tersebut dalam kamus).
Kesepakatan yang tertera harus berupa paket pekerjaan atau sub pekerjaan dengan suatu nilai atau harga paket yang disepakati dengan berbagai varian jumlah tenaga kerja dan sesuai kompetensinya.
Dengan kata lain, outsourcing versi UU Ketenagakerjaan tidak boleh ada perjanjian untuk penyerahan sejumlah pekerja atau buruh dari vendor untuk diperintah langsung oleh manajemen perusahaan pengguna yang ditentukan jumlahnya dan dihargai orang demi orang dengan persentase fee tertentu.
Apabila terdapat praktik semacam ini, maka disebut sebagai human trafficking atau perbudakan modern oleh Serikat Pekerja, bahkan eksploitasi manusia oleh sesama manusia.
b. Penting untuk dipahami juga
Berikut adalah peraturan yang bisa dipahami secara umum selain UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum karyawan outsource:
- Undang-Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
- Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
- Undang-Undang No.11 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Baca juga: Aturan Cuti Karyawan: Dasar Hukum dan Perhitungan
Hak Karyawan Outsourcing di Indonesia
Hak-hak yang harus diterima karyawan outsource adalah sebagai berikut:
1. Uang Lembur
Hak atas uang lembur pada hari istirahat mingguan dan hari besar bagi karyawan outsource, namun hal ini terlebih dahulu dijelaskan bahwa berdasarkan Pasal 79 ayat (1) jo ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan (weekly rest) kepada pekerja atau buruh, masing-masing:
- 1 (satu) hari untuk pola waktu kerja 6:1, dalam arti enam hari kerja dan satu hari istirahat mingguan;
- 2 (dua) hari untuk pola waktu kerja 5:2, dalam arti lima hari kerja dan dua hari istirahat mingguan;
Besarnya hak upah kerja lembur pada hari istirahat mingguan dan hari libur resmi, diperhitungkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 huruf b dan huruf c Kepmenakertrans No. Kep-102/Men/VI/2004, yakni:
a. Pola 6:1
Untuk 7 (tujuh) jam pertama = 2 x upah per jam (UPJ), dan jam kedelapan = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam sembilan dan sepuluh = 4 x UPJ.
Kecuali, bila lembur pada hari kerja terpendek, diperhitungkan mulai dari 5 (lima) jam pertama = 2 x UPJ, dan jam keenam = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam ketujuh dan kedelapan = 4 x UPJ
b. Pola 5:2
Untuk 8 (delapan) jam pertama = 2 x UPJ, dan jam kesembilan = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam kesepuluh dan sebelas = 4 x UPJ.
c. UPJ
UPJ = 1/173 x upah (upah pokok dan tunjangan tetap). Namun, apabila komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap serta tunjangan tidak tetap, maka dasar UPJ, adalah nilai terbesar antara [upah pokok + tunjangan tetap] atau [75% x (upah pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap)].
2. Kontrak Kerja
Hak dan kewajiban tenaga kerja dalam penandatanganan kontrak kerja jika menyalahi aturan dinas tenaga kerja.
Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat disepakati untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Baca juga: Surat Pengangkatan Karyawan: Contoh, Syarat, dan Kenapa Penting
3. Hak Outsourcing Sama seperti Tenaga Kerja Lainnya
Berkenaan dengan hak-hak tenaga kerja outsourcing, pada umumnya sama saja hak-haknya dengan tenaga kerja organik di perusahaan perekrut, di antaranya:
- Hak non diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, dalam arti, pekerja atau buruh tidak boleh dibedakan dalam proses rekrut atas dasar suku, agama, ras, atau etnis tertentu, dan menolak bagi yang berbeda (Pasal 5 UU Ketenagakerjaan).
- Hak memperoleh perlakuan dan hak-hak yang sama di tempat kerja tanpa diskriminasi (Pasal 6 jo Pasal 65 ayat [4] dan Pasal 66 ayat [2] huruf c UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya).
- Hak memperoleh peningkatan dan pengembangan serta pengakuan kompetensi kerja (Pasal 11 dan Pasal 18 jo Pasal 23 UU Ketenagakerjaan).
- Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam memilih atau mendapatkan pekerjaan, pindah kerja dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31 jo Pasal 88 UU Ketenagakerjaan).
- Hak menunaikan ibadah (termasuk ibadah dalam jangka waktu yang lama) dengan hak upah (Pasal 81 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan).
- Hak cuti hamil dan melahirkan (termasuk gugur kandung) dengan hak upah (Pasal 82 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan).
- Hak dan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3), perlindungan moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat [1] ULU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
- Hak jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99 ayat [1] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [2] jo Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja).
- Hak memperoleh pesangon bila hubungan kerjanya PKWTT atau dianggap dan memenuhi syarat PKWTT (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).
4. Hak Atas Bantuan Hukum bagi Tenaga Kerja
Seperti diketahui, bahwa saat ini telah ada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bankum) yang memberikan jaminan hak konstitusional kepada setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Dengan UU Bankum tersebut, negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin yang menghadapi masalah hukum untuk mendapatkan akses keadilan.
Bantuan hukum kepada masyarakat (orang miskin atau kelompok orang miskin) diberikan dengan syarat:
- Mengajukan permohonan secara tertulis (kecuali bagi yang tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis).
- Menyerahkan dokumen yang terkait dengan pokok perkara.
- Melampirkan surat keterangan miskin (Pasal 14 ayat (1) UU Bankum).
Bantuan ini diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) yang secara operasional dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memberi Layanan Bantuan Hukum (Layanan BH) secara gratis.
Butuh Karyawan Outsourcing Segera?
Sampingan siap menyediakan karyawan baik full-time maupun part-time.
Mulai dari Customer Service, Staf Logistik, Kurir, SPG, hingga Barista. Semua cepat tersedia dalam 24 jam.
Pelajari lebih lanjut dan hubungi Sampingan segera melalui form ini.